Bandar Lampung (Kandidat) – Penerapan sistem parkir digital berbasis kartu dan *QR code* di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung sejak awal Oktober 2025 menuai sorotan dari sivitas akademika. Program ini merupakan bagian dari upaya transformasi digital layanan kampus, namun pelaksanaannya menimbulkan polemik di kalangan mahasiswa dan dosen.
Berdasarkan laporan *UIN News Official* (20 Oktober 2025), sistem parkir digital bertujuan menciptakan keteraturan, meningkatkan keamanan kendaraan, serta mewujudkan transparansi retribusi kampus.
Namun, sejumlah akun media mahasiswa seperti *RadenIntanLeaks* dan *SuaraMahasiswaUIN* mengunggah keluhan mengenai kenaikan tarif parkir yang dinilai memberatkan, yakni Rp2.000 per hari untuk sepeda motor dan Rp5.000 untuk mobil.
Beberapa mahasiswa juga melaporkan gangguan sistem pada jam sibuk yang menyebabkan antrean panjang di gerbang utama kampus.
Sementara itu, pihak pengelola menyebut sistem parkir digital masih dalam tahap uji coba dan akan dievaluasi dalam waktu dekat.
Sejumlah dosen dan staf menilai kebijakan tersebut positif karena dapat mengurangi risiko pencurian kendaraan dan meningkatkan pengawasan di area parkir.
Meskipun demikian, sebagian mahasiswa menilai kebijakan parkir digital menambah beban ekonomi, terutama bagi mereka yang berasal dari luar daerah dan tinggal di rumah kost.
Media kampus juga menyoroti belum adanya penjelasan terbuka dari pihak universitas terkait pengelolaan dana parkir digital—apakah dikelola langsung oleh kampus atau melalui pihak ketiga.
Minimnya sosialisasi disebut turut memicu kesalahpahaman di kalangan mahasiswa.
Sebagai respons, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) bersama sejumlah organisasi kemahasiswaan menggelar diskusi publik bertajuk *“Digitalisasi untuk Siapa?”* untuk membahas kebijakan tersebut.
Beberapa peserta diskusi menilai, kebijakan digital kampus perlu mempertimbangkan aspek kesejahteraan mahasiswa agar tidak menimbulkan kesan komersialisasi layanan.
Pengamat kampus menilai, digitalisasi tidak hanya menyangkut kemajuan teknologi, tetapi juga kepekaan terhadap kondisi sosial pengguna.
Dalam konteks perguruan tinggi Islam, kebijakan diharapkan tetap mencerminkan nilai keadilan, kemaslahatan, dan pelayanan yang inklusif.
Dari hasil pemantauan media kampus, terdapat beberapa implikasi dari polemik sistem parkir digital ini, antara lain:
* menurunnya kepercayaan mahasiswa terhadap kebijakan kampus jika keputusan diambil tanpa konsultasi,
* potensi munculnya resistensi sosial seperti protes atau petisi,
* serta terganggunya citra kampus yang tengah membangun reputasi sebagai *smart campus*.
Beberapa langkah perbaikan yang disarankan antara lain:
1. *Evaluasi Tarif dan Sistem Parkir Digital*
Meninjau kembali besaran tarif agar sesuai dengan kondisi ekonomi mahasiswa. Skema langganan atau subsidi bagi mahasiswa aktif dapat menjadi alternatif.
2. *Transparansi Pengelolaan dan Pendapatan Parkir*
Pihak kampus perlu menyampaikan secara terbuka mekanisme kerja sama dengan pengelola parkir, termasuk alur pendapatan dan penggunaannya.
3. *Sosialisasi dan Pelibatan Mahasiswa*
Melibatkan BEM, UKM, dan perwakilan mahasiswa dalam proses evaluasi agar kebijakan tidak bersifat *top-down*.
4. *Perbaikan Teknis Sistem Digital*
Meningkatkan kapasitas server, memperbaiki alat pemindai, dan memberikan pelatihan bagi petugas agar sistem berjalan lancar.
5. *Integrasi Nilai Islam dalam Kebijakan Kampus*
Sebagai institusi pendidikan Islam, inovasi digital diharapkan berorientasi pada kemaslahatan (*maslahah ‘ammah*) dan tidak membebani mahasiswa.
Polemik sistem parkir digital di UIN Raden Intan Lampung menjadi refleksi atas pentingnya keseimbangan antara modernisasi teknologi dan empati sosial.
Transformasi digital di lingkungan akademik akan berjalan efektif apabila dilandasi transparansi, keadilan, dan partisipasi seluruh sivitas kampus.











