Bandar Lampung (Kandidat) — Krisis integritas tengah mengguncang tubuh Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Lampung. Di tengah kisruh proses Konferensi Cabang (Konfercab) PMII Bandar Lampung, PKC yang semestinya menjadi penengah dan pengawal konstitusi justru dinilai kehilangan arah dan keberanian.
Alih-alih mengambil langkah tegas, PKC justru memilih bungkam dan berlindung di balik otoritas Mabinda PMII Lampung. Ketika kader-kader di tingkat bawah mendesak agar PKC bersikap adil, yang muncul justru pembiaran dan sikap pasif yang memperpanjang konflik.
“Alih-alih menegakkan aturan, mereka justru menunggu restu Mabinda. PKC hari ini seolah kehilangan independensi moral dan keberanian organisatoris,” tegas Hanip Nur Alam, Ketua Komisariat PMII UIN Raden Intan Lampung, saat dimintai tanggapan, Senin (20/10/2025).
Sikap Sepihak dalam Proses Rekomendasi SK
Kekecewaan kader terhadap PKC kian memuncak ketika dua calon Ketua Cabang PMII Bandar Lampung, Satrio Setiawan dan Topik Sanjaya, sama-sama mengajukan berkas permohonan rekomendasi Surat Keputusan (SK) ke Pengurus Besar (PB) PMII.
Namun, bukannya memproses keduanya secara adil, PKC PMII Lampung hanya meneruskan satu nama yakni Topik Sanjaya untuk mendapatkan rekomendasi ke PB PMII.
Langkah ini dianggap sebagai bentuk keberpihakan yang terang-terangan dan menyalahi prinsip netralitas organisasi.
“Ini sudah bukan soal siapa yang menang atau kalah. Tapi soal integritas lembaga. Kalau PKC hanya melayani yang dekat secara politis, maka keadilan di tubuh PMII sudah mati,” lanjut Hanip Nur Alam.
Berkas Cacat Administratif, Namun Dibiarkan
Ironisnya, berkas struktural yang diajukan oleh calon atas nama Topik Sanjaya justru menyimpan pelanggaran administratif serius.
Dalam daftar struktur yang diajukan, Sekretaris Muhammad Kamal diketahui belum menempuh Pelatihan Kader Lanjut (PKL), sedangkan Bendahara Deanty Febri Yanti bahkan belum mengikuti Pelatihan Kader Dasar (PKD) dua syarat dasar yang wajib dipenuhi untuk menduduki jabatan struktural di cabang.
Namun fakta ini tidak menggugurkan berkas tersebut. Sebaliknya, PKC PMII Lampung, Mabinda, dan bahkan PB PMII justru membiarkan berkas itu diproses.
“Ketika pelanggaran administrasi dibiarkan, itu artinya aturan organisasi hanya dijadikan hiasan. PKC, Mabinda, bahkan PB PMII harus bertanggung jawab atas pelanggaran ini,” tegas Hanip lagi.
Krisis Wibawa dan Hilangnya Marwah Pergeraka
Sikap diam dan pilih kasih PKC Lampung dinilai memperparah krisis kepercayaan di kalangan kader. PMII yang selama ini dikenal sebagai ruang pembentukan intelektual kritis kini mulai kehilangan jati diri.
“PKC sudah kehilangan wibawa. Mereka tidak lagi menjadi pengawal nilai, tapi pelayan kepentingan,” ujar Hanip Nur Alam dengan nada kecewa.
Menurutnya, ketakutan PKC dan Mabinda terhadap kritik internal menunjukkan bahwa PMII Lampung sedang kehilangan marwah pergerakan. “Kalau pengurus lebih sibuk menjaga posisi daripada menegakkan kebenaran, maka sejarah akan mencatat: mereka adalah generasi yang kehilangan taringnya,” ujarnya menegaskan.
Arah Pergerakan yang Kabur
Krisis di tubuh PKC PMII Lampung ini bukan hanya persoalan teknis konferensi, melainkan cerminan kemunduran moral dan keberanian struktural.
Ketika lembaga formal kehilangan daya kritis dan menggantungkan sikap pada otoritas non-struktural, maka pergerakan hanya akan jadi ritual seremonial tanpa ruh perjuangan.
Kader-kader di berbagai komisariat kini menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap peran PKC dan Mabinda PMII Lampung. Mereka menuntut agar PMII kembali ke khittah perjuangan — menjadi organisasi kader, bukan alat kompromi kepentingan.
“PMII bukan tempat untuk mereka yang takut bersuara. Jika PKC dan Mabinda gagal menegakkan keadilan, maka sejarah yang akan mengadili mereka.”
*Hanip Nur Alam, Ketua Komisariat PMII UIN Raden Intan Lampung*