Hukum Tak Boleh Lunak Dalam Kasus Diksar Unila

LAMPUNG (KANDIDAT) – Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL) Benny Karya Limantara menyoroti penetapan tersangka yang tidak ditahan dalam kasus dugaan penganiayaan yang menyebabkan tewasnya peserta pendidikan dasar (diksar) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung (FEB Unila)

Benny mengatakan, penganiayaan yang menyebabkan kematian tidak biisa dipandang sebagai Delik biasa. Jika merujuk pada akibat hukum yang ditimbulkan, yaitu hilangnya nyawa manusia, maka penerapan Pasal 351 ayat (1) KUHP yang hanya mengatur penganiayaan biasa menjadi kurang relevan.

“Bahkan Pasal 351 ayat (3) KUHP secara eksplisit menyatakan Apabila perbuatan itu mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.” kata Benny kepada media ini. Minggu (26/10).

Dengan demikian, dari perspektif hukum pidana materiil, telah terjadi eskalasi akibat yang semestinya menaikkan kualifikasi pasal. seharusnya Diksar sebagai proses kaderisasi semestinya berorientasi pada pembentukan karakter intelektual.

“Ketika diksar berubah menjadi arena kekerasan yang berujung kematian, maka pendidikan telah bergeser dari proses humanisasi menjadi dehumanisasi. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945 yang menegaskan hak setiap orang untuk mengembangkan diri melalui pendidikan yang bermartabat,” ungkapnya.

Dari perspektif hukum progresif ala Satjipto Rahardjo, hukum harus berpihak pada mereka yang terluka, tertindas, dan kehilangan masa depan dalam hal ini korban dan keluarganya.

Benny menegaskan, Penegak Hukum Harus Menggali Nilai Keadilan Substantif dalam menjerat pelaku, aparat penegak hukum hendaknya mempertimbangkan pula alternatif pasal seperti.

“Pasal 351 ayat (3) KUHP (penganiayaan mengakibatkan mati), Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP, jika terbukti ada pengeroyokan bersama yang menimbulkan kematian,Pasal 338 KUHP, jika ditemukan niat mengakibatkan luka berat yang berpotensi diinterpretasi sebagai dolus eventualis,” ucapnya

Pilihan pasal-pasal ini lebih sejalan dengan asas keadilan korektif dan keadilan substantif yang dikedepankan hukum progresif.

“Tragedi ini tak boleh dilihat sekadar sebagai kejahatan individual, tetapi juga kegagalan sistem pengawasan institusi pendidikan. Universitas, panitia, pembina kegiatan, bahkan struktur organisasi kemahasiswaan yang memberi ruang kekerasan harus dipertanyakan tanggung jawab hukumnya,” katanya

Hal ini sejalan dengan doktrin command responsibility yang mulai diadopsi dalam konteks pertanggungjawaban berjenjang.

Benny menegaskan, Hukum progresif mengajarkan bahwa keadilan bukan terletak pada teks, tetapi pada keberanian menegakkan nilai kemanusiaan. Tragedi ini jangan hanya menjadi kasus hukum, tetapi momentum koreksi atas budaya kekerasan terselubung dalam kegiatan mahasiswa.

“Korban bukan hanya kehilangan hidup, tetapi juga kehilangan masa depan. Maka negara tak boleh berhenti pada penetapan tersangka, tetapi harus menjamin bahwa kegiatan akademik di Indonesia kembali menjadi jalan peradaban, bukan ladang kematian,” tandasnya.

(Edi)