BANDARLAMPUNG (KANDIDAT) – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandar Lampung nampaknya mulai hilang akal kritis dengan meloloskan hibah Pemerintah Kota (Pemkot) kepada Kejati senilai Rp 60 miliar.
Disinyalir, Hibah yang diberikan kepada Kejati Lampung itu harus patut dipertanyakan urgensi dan relevansinya bagi kebutuhan langsung masyarakat Bandar Lampung.
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Lampung Jeni Rahmawati mengatakan, bahwa keputusan DPRD Kota Bandarlampung yang meloloskan hibah Pemkot kepada Kejati senilai Rp 60 miliar perlu mendapat perhatian serius.
Menurutnya, Dalam konteks tata kelola pemerintahan daerah, DPRD seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengawasan (checks and balances) terhadap kebijakan eksekutif.
“Namun, dengan adanya persetujuan ini, publik bisa menilai bahwa fungsi pengawasan tersebut justru tidak berjalan maksimal, bahkan terkesan “tutup mata” terhadap kondisi fiskal daerah yang sedang berat,” ujarnya, Rabu (01/10).
Lebih lanjut, Jeni mengungkapkan, jika merujuk pada prinsip good governance, setiap kebijakan anggaran semestinya mengedepankan asas prioritas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.
“Fakta bahwa APBD Kota Bandarlampung saat ini menghadapi defisit Rp 267 miliar ditambah beban utang sekitar Rp 276 miliar, seharusnya membuat DPRD lebih berhati-hati dalam memberikan persetujuan belanja hibah yang secara substansi bukan merupakan urusan wajib Pemkot,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, bahwa dari perspektif regulasi, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta Permendagri No. 77 Tahun 2020 telah menegaskan bahwa belanja daerah harus diprioritaskan untuk urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, bukan kewenangan pemerintah pusat.
“Pembangunan gedung Kejati secara kelembagaan merupakan domain pemerintah pusat (Kejaksaan RI), sehingga bila Pemkot ikut menanggung beban anggaran dalam jumlah sangat besar, patut dipertanyakan urgensi dan relevansinya bagi kebutuhan langsung masyarakat Bandarlampung,” katanya.
Dengan kondisi demikian, peran DPRD seharusnya menjadi filter kebijakan yang memastikan setiap pengeluaran daerah sejalan dengan prinsip value for money dan mendukung pemenuhan kebutuhan publik yang lebih mendesak, seperti pelayanan dasar, infrastruktur kota, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, jika DPRD justru menyetujui tanpa kritik mendasar, maka wajar bila publik menilai ada pelemahan fungsi kontrol politik terhadap eksekutif.
“Saya ingin menegaskan bahwa keputusan-keputusan anggaran daerah tidak boleh hanya dilihat dari aspek politis atau hubungan kelembagaan semata, melainkan harus berbasis pada kepentingan publik dan rasionalitas fiskal. Jika hal ini diabaikan, maka kredibilitas DPRD sebagai representasi rakyat akan semakin dipertanyakan,” tandasnya.
(Edi)